Kamis, 29 Maret 2012

KASUS L/C



KASUS LC FIKTIF
BNI KEBAYORAN BARU
Dengan membaca dan mempelajari buku-buku yang saya dapatkan
dari teman-2 dan keluarga, perihal Letter of Credit dan juga didasari
oleh kedangkalan pengetahuan saya yang menyebabkan saya
menjadi terpidana, maka saya mencoba menulis kasus LC ini
sebagai berikut :
Letter of Credit ( LC ) adalah Surat Berharga, yang merupakan alat
bayar untuk sesuatu transaksi ekspor-impor, sehingga pengaturan
hukum atas Letter of Credit tersebut diatur adalam perjanjian
Internasional ( bukan perjanjian Nasional / Indonesia ) yang dikuti
oleh semua Negara-negara didunia, yaitu menggunakan UCP.500
( United Custom Practice .500 )
Macam-macam Letter of Credit adalah :
1. Sight Letter of Credit
2. Usance Letter of Credit
3. Red Clause Letter of Credit
1. SIGHT LETTER OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank
( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa
pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di
diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank
didalam negeri ( Negotiating Bank ) dengan cara melakukan
Collection ( yaitu penagihan pembayaran oleh Negotiating Bank
kepada Issuing Bank ),
2. USANCE LETTER OF CREDIT  adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank
( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa
pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di
diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank
didalam negeri ( Negotiating Bank ), dengan mengikuti semua
persyaratan yang tercantum dalam LC tersebut.
Dalam Usance LC, pendiskontoan dapat dilakukan apabila semua
proses pengiriman telah dilakukan oleh Eksportir dan dokumen-2
inilah yang menyertai LC tersebut untuk diserahkan ke Negotiating
Bank, dalam rangka pendiskontoan LC tersebut, dengan demikian
segala Resiko pembayaran telah diambil alih oleh Negotiating
Bank di dalam negeri.
3. RED CLAUSE LETTER OF CREDIT  adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank
( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), yang
berisi Perintah pembayaran terlebih dahulu maksimal sebesar
80% dari Issuing Bank di Luar Negeri kepada Negotiating Bank di
dalam negeri, dimana Eksportir belum melakukan aktivitas ekspor
sama sekali, ( LC ini merupakan pembayaran uang muka dari
Importir ( down payment ) kepada Eksportir ), LC tersebut sangat
likwid berlaku di perbankan, karena semua resiko telah
ditanggung oleh Bank Penerbit di Luar Negeri dan pasti dibayar
sesuai waktu yang telah ditentukan.
Dalam Red Clause LC, pendiskontoan 80% dapat dilakukan oleh
Eksportir tanpa harus melakukan aktivitas ekspor terlebih dahulu,
karena perlakuan dalam LC tersebut adalah sangat Khusus, yaitu
Eksportir & Importir telah berulang kali melakukan transaksi
ekspor, Sehingga timbul kepercayaan yang tinggi dari Importir
kepada Eksportir dan biasanya antara Bank kedua belah pihak
telah melakukan korenpondensi terlebih dahulu. Sedangkan
pelunasan 100% akan dilakukan oleh Negotiating Bank, apabila
Eksportir telah selesai melakukan pengiriman ekspornya dengan
menyerahkan dokumen-2 pengirimannya ke Negotiating Bank.
Alat Bayar lainnya yang diatur dalam undang-undang International
yaitu, Kartu Kredit (Credit Card), dimana dengan Kartu kredit para
pemegangnya dapat melakukan transaksi pembayaran dengan
semua pihak yang menjadi Holder dari Bank Penerbit Kartu Kredit
tersebut, baik didalam negeri maupun di luar negeri. Dan selain
daripada itu mempunyai fungsi yang lain, yaitu untuk mengambil
UANG TUNAI/CASH sebesar yang tercantum dalam credit limit kartu
kredit tersebut.
Secara umum perlakuan verifikasi  dari  Credit  Card  dan  Letter of 
Credit  adalah  sama, yaitu penjual  atau  bank  penjual  melakukan 
verifikasi/authorifikasi  kepada  Bank  Penerbit  (  Issuing  Bank  ),
sehingga penjual atau Bank penjual dapat aman melakukan
pembayaran terlebih dahulu kepada pemegang LC atau pemegang
kartu kredit tersebut.
Untuk memperjelas permasalahan hukum yang terjadi dalam kasus
pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru dengan
menggunakan LC Fiktif, maka kami mencoba membuat suatu
illustrasi sederhana dengan contoh kasus dalam pemakaian transaksi
yang menggunakan ALAT BAYAR KARTU KREDIT :
• Pemilik Kartu Kredit sebelum menerima Kartu Kredit akan
menanda tangani kesepakatan antara dia dengan Issuing
Bank, berupa perjanjian tertulis.
• Antara Holder/Toko dan bank Pemberi alat
authorifikasi/verifikasi, juga membuat kesepakatan-2 atas
penggunaan alat online tersebut, agar alat tersebut digunakan
sebagai ketentuan2 yang ada.
• Pemilik Kartu Kredit sedang berbelanja disebuah toko, yang
mana dia sedang membeli barang elektronik seharga Rp
2.500.000,- , tetapi kemudian teringat membutuhkan uang cash
sebesar Rp. 500.000, karena tidak akan sempat ke ATM, untuk
mengambil tunai dengan Kartu Kredit tersebut, maka dia
meminta tolong kepada pemilik toko, agar kwintansi dalam
barang tersebut dibuat Rp. 3.000.000,- dimana yang
Rp.500.000 dia minta secara TUNAI atau CASH dan yang Rp.
2.500.000 berupa barang yang dia beli.
• Pasti pemilik toko akan memperbolehkan setelah melakukan
verifikasi atau authorifikasi kepada Bank Penerbit Kartu Kredit,
Dan Bank Penerbit akan memperbolehkan selama saldo yang
ditetapkan kepada Pemilik Kartu Kredit masih mencukupi,
sedangkan untuk melakukan verifikasi atau authorifikasi tidak
perlu menggunakan telpun, tetapi cukup menggunakan suatu
alat online yang telah disepakati dan disetujui sebagai alat
verifikasi dan ini berlaku seluruh dunia, sebagai suatu
kesepakatan Internasional.
Coretan Tangan yang terdholimi Page 3• Pada saat jatuh tempo pembayaran kartu kredit, maka pemilik 
kartu kredit akan ditagih oleh Bank sebesar Rp. 3.000.000 atas 
transaksi pembelian barang, bukan terpisah dua transaksi yaitu 
atas  Rp.2.500.000  pembelian  barang  dan  Rp.500.000  uang 
cash. Selama tidak ada complain dari salah satu pihak, maka
transaksi tersebut sah-sah saja dan harus dibayar pada saat
jatuh tempo.
• Apakah pada kwintansi tersebut yang tertulis pembelian barang 
sebesar Rp.3.000.000 adalah dokumen fiktif, dimana  semua 
pihak yang terlibat menyepakati dan menyetujui, yaitu pembeli, 
penjual, issuing bank & negotiating bank, bahwa harga barang 
tersebut adalah Rp. 3.000.000,- dan pembayarannyapun akan
dilakukan yaitu sebesar Rp,.3.000.000,- ditambah premi, dll
oleh pemilik kartu kredit kepada Issuing Bank.
Pada  kasus  LC  fiktif  bank  BNI  yang  dituduhkan, modus 
operandi yang dilakukan hampir sama, dengan Kartu Kredit 
tersebut, yaitu sebagai berikut :
Antara Penjual ( Eksportir ) & Pembeli ( Importir ), Issuing Bank,
Advising Bank & Negotiating Bank telah terjadi kesepakatan terlebih
dahulu, sbb :
I. KESEPAKATAN MULTILATERAL / INTERNATIONAL :
a. Kesepakatan harga, volume, waktu pengiriman dan
spesifikasi barang yang akan dibeli.
b. Macam LC yang diterbitkan, persyaratan pencairan didalam
LC, tgl diterbitkan, tanggal kadaluarsa.
c. Bank yang akan menerbitkan LC adalah koresponden dari
Bank Penjual didalam negeri atau harus ada Bank Penjamin
didalam negeri ( Advising Bank ) apabila bukan koresponden
bank, sehingga dengan adanya Advising Bank, maka
Negotiating Bank dapat melakukan pendiskotoan LC
tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
d. Penerbitan dan kemudian pengiriman LC harus
menggunakan alat verifikasi yang telah disetujui oleh dunia
internasional yaitu SWIFT  dengan  Message  Type  .700, 
sehingga  LC  tersebut  dikatakan GENUINE ( benar, baik,
betul, akurat dan dapat dipercaya ).
II. KESEPAKATAN NASIONAL / DALAM NEGERI :
a. Eksportir atau penjual barang, telah conform dengan
Banknya bahwa negotiating bank yang akan digunakan
adalah sesuai dengan LC yang akan dikirim oleh Importir
lewat Issuing Bank.
b. Eksportir dan Bank didalam negeri telah terjadi kesepakatan
untuk melakukan pendiskontoan LC yang akan diterima,
setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka
pendiskontoan LC ekspor tersebut, tapi yang sama adalah,
bahwa Bank mempuinyai HAK  REGRES, yaitu hak  yang 
dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing 
Bank  atau  Importir  tidak  membayar  kepada  Negotiating 
Bank, karena pendiskontoan yang telah dilakukan, dengan 
alasan  apapun,  maka  Negotiating  Bank  dapat  meminta 
pelunasan pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir 
yang dimaksud.
c. Pendiskontoan LC ekspor, sama halnya dengan perjanjian
kredit pada umumnya, pada saat terjadi wanprestasi di Luar
negeri ( Issuing Bank ), maka berlakulah hukum Nasional di
Indonesia, yaitu perjanjian Kredit pada umumnya, dan
masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
d. Apakah penggunaan yang tidak sesuai tentang pemakaian
hasil pendiskontoan atau hasil pencairan kredit adalah suatu
tindakan PIDANA…..??????? dalam hal ini Tindakan Pidana
Korupsi sesuai UU No.31/1999 jo UU.No.20/2001
e. Dalam perjanjian Kredit atau pendiskotoan LC tersebut,
Bank pada umumnya telah melakukan prinsip kehati-hatian
bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan
pembayaran, sehingga apabila terjadi wanprestasi, Bank
tetap aman untuk menerima pengembalian dana yang telah
dicairkan kepada nasabah, baik berupa kredit atau
pendiskontoan LC.
f. Dokumen Pendukung disini adalah seolah-olah telah atau  
akan terjadi pengiriman barang dengan menggunakan Bill of 
Coretan Tangan yang terdholimi Page 5Lading,  &  dokumen  lainnya  yang  diminta  dalam  LC, 
dikarenakan antara Importir dan Eksportir dan juga  antara 
Issuing  Bank  &  Negoriating  Bank,  sudah  terjadi 
kesepakatan, maka pembayaran tetap dilakukan pada saat 
jatuh tempo ( terbukti dari total 82 slip LC, hanya 37 Slip LC 
yang belum dibayar, itupun karena dikasus pidanakan oleh 
BNI )
Kesimpulan :
PADA KARTU  KREDIT TERDAPAT DOKUMEN  PENDUKUNG 
YAITU KWINTANSI  YANG  SEOLAH-OLAH HARGA BARANG
ADALAH Rp. 3.000.000,- SEDANGKAN PADA LC SEOLAH-OLAH 
TELAH  ATAU  AKAN  ADA  PENGIRIMAN DENGAN DOKUMEN 
YANG DISEPAKATI DIDALAM LC
Dikarenakan kesepakatan-2 diatas telah terjadi maka, terjadilah
Pendiskontoan LC Ekspor oleh Bank BNI terhadap Gramarindo
Group, didalam pelaksanaannya tidak pernah terjadi masalah, yaitu
sejak bulan September 2002 sampai dengan Agustus 2003, Bank
diluar negeri sebagai Issuing Bank, yang menerbitkan LC tersebut
tetap membayar kepada Bank BNI atas pendiskontoan LC yang telah
dilakukan terlebih dahulu dan karena pembayarannya dalam US.
Dollar, maka pembayaran selalu melewati perjanjian Internasional,
yaitu BANK SENTRAL di NEW YORK.
Tetapi setelah diketahui oleh Satuan Intern Pengawas Bank BNI,
bahwa terjadi kesalahan prosedur untuk pendiskontoan LC tersebut,
maka Bank BNI atas sepengetahuan direksi di kantor Pusat,
menyetujui dibuat AKTE  PENGAKUAN  HUTANG atas total
pendiskontoan LC yang terjadi dan masih ditambah dengan Borgtogh 
oleh Owner  dan  Konsultan  Investasi  Sagared  Group. Yang
sebenarnya bahwa APU tersebut adalah sama dengan Letter of
Indemnity partial yang terlampir per slip LC yang menyangkut HAK
REGRES, yang kemudian direkapitulasi menjadi total angka didalam
APU dengan tambahan jaminan/collateral saja.
Atau dalam gambar sbb :


( Medio juni 2004, dengan membaca literature-2 dan belajar atas kasus yang terjadi )




1 komentar:

  1. hei kawan, karena kita ini mahasiswa gundar, tolong ya blognya di kasih link UG, seperti
    - www.gunadarma.ac.id
    - www.studentsite.gunadarma.ac.id dan lain lain
    karna link link tersebut mempengaruhui kriteria penilaian mata kuliah soft skill
    makasi :)

    BalasHapus